Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Mata Air yang Membasuh Kejombloan

Ada satu tantangan menarik untuk menulis komedi tapi tidak dalam bahasa keseharian. Maksudnya, komedi dalam bentuk semacam set up dan punchline stand up, tetapi memakai bahasa yang, bisa dibilang, sedikit lebih baku. Saya tertarik mencobanya dan mungkin kita lihat, apa saya bisa melakukannnya? Jadi untuk berhasil menaklukkan tangangan itu, tentu mesti dipahami seperti apa model penulisannya dan teknik yang lazim dipakai dalam stand up comedy. Rasanya terlalu malas untuk menjabarkannya. Hahaha. Padahal, ini cuma alasan karena sebetulnya saya juga tak paham apa yang saya bicarakan. Baik, daripada saya mengoceh tidak jelas, saya sampaikan kepada anda, yang mungkin sedang tidak libur atau mungkin sedang liburan tapi cuma tiduran sambil mengusap-usap layar gawai, bahwa kemarin kami telah mengunjungi mata air di daerah Jabal Mukattam. Puji Tuhan, tidak ada yang tenggelam, karena airnya memang cuma sedangkal dada, dan rasa kasihan kepada Masisir kalau uang mereka habis demi donasi kepulanga

Ke Mana Alasan Membawa Saya?

Untuk tahu obat apa yang sesuai bagi penyakit, dibutuhkan diagnosa yang tepat. Dan untuk menentukan suatu diagnosa, simptom yang muncul mesti dianalisis dan ditelusuri mana akarnya. Dengan menulis kita akan melakukan kerja pikiran yang tertata dan itu membantu proses analisa suatu problem. Ketika akar masalah menjadi terang, maka penanganan yang tepat bisa dilakukan apabila bebas hambatan. Maka untuk mencari tahu kenapa saya gemar menunda pekerjaan, saya mesti meneliti alasan yang biasa saya kambing hitamkan. Kadang saya bergantung pada orang lain. Saya pernah mengalami fase ketika kepercayaan saya pada orang lain lebih tipis ketimbang sehelai rambut. Tapi perlahan saya mulai membuka diri dan menaruh kepercayaan pada orang lain. Namun kemudian, karena ada orang yang tangkas dalam menangani berbagai urusan, dan entah karena kebetulan macam apa ia bekerja bersama saya, timbul ketergantungan dalam diri saya pada orang itu. Kecenderungan untuk membebankan tanggung jawab pada orang lain bi

Nanti Saja

Dalam ruang gelap lepas tengah malam, saya mulai menulis pelan-pelan, tanpa maksud lain kecuali melatih kelenturan jari dan memantapkan teknik-teknik dasar. Tekad yang saya susun mungkin tak terlalu bulat, seperti bola yang kempes anginnya. Tapi untuk konsisten menulis dan menerbitkan sesuatu kita tak mesti menunggu tekad yang sekukuh tiang listrik. Kita bisa memulai dari hal yang sederhana seperti berusaha menulis cepat dan melatih pikiran agar ia mampu bekerja lekas dan lepas. Saat menulis ini sebenarnya ada tugas yang terbengkalai dan ia menunggu untuk dituntaskan. Tapi saya tak pernah punya tekad kukuh dalam hal apapun. Segala hal terasa gamang dan abstrak. Seperti lamunan yang lepas di balik jendela saat menaiki angkutan umum. Tertiup angin sore dan terbasuh semburat senja. Keputusan yang diambil dari angin lalu menjelma jadi keinginan yang tak bisa digenggam. Saya ingin menyelesaikan ini itu dan lain lain, tapi seperti menikmati waktu yang terbuang untuk melarikan diri dari tang
dengan tenang dan hening/ dengan riuh dan bising/ dengan derana dan air mata/ dengan tawa dan suka cita/ entah rumit entah sederhana/ meski ingkar walau percaya/ kita sepasang kata/ bertarung beradu berlawan berbisik gemersik mengusik suasana yang hening dalam benak benak bening tanpa noda, senyap dalam doa.

Sekadar Ucapan Selamat Berpuasa

Andai Ramadhan bisa digambarkan dalam satu adjektiva, atau ia bisa diwakili satu kata kerja. Apa mungkin bisa kita pakai "puasa?" Tapi dua kata ini maknanya jelas berbeda. Meski Ramadhan tentu akan aneh bila dilalui tanpa berpuasa, makna puasa ini jauh lebih sakral saat ramadhan tiba. Beda dengan Senin-Kamis, 10 Muharam, Daud, atau yang lainnya, Ramadhan seolah mengejawantahkan makna penuh dari puasa yang sesungguhnya. Jadi ketimbang mengucapkan "Selamat menunaikan ibadah puasa," rasanya lebih asik jika berkata "Selamat ber-Ramadhan dengan gembira!"
Dalam lembar-lembar hari, Kita adalah buku setebal usia Ada satu pembatas menyelipkan teluh, "Bertahun-tahun aku menulis cinta Masih belum beranjak dari halaman pertama"

Seorang Tamu

Malam hari, menjelang tidur . Kau menipu dirimu sendiri. Kenapa kau bicara berbusa-busa? Kau takut kebodohanmu terlihat? Harus kau tahu, itu tak ada bedanya dengan apa yang dilakukan orang yang kau benci. Kau masih sama, semilipun tak ada kemajuan. Tapi tak ada yang bisa kau sembunyikan dari dirimu sendiri. Kau tahu pasti. Dan kau menolak untuk menerimanya. kau lari dari kenyataan. Ayolah, hadapi aku. Lihat ke cermin. Semua cacat terpampang jelas. Tapi kau menciptakan ilusi. Kau menipu dirimu sendiri. Rasa aman, rasa nyaman, dan rasa percaya dirimu semua palsu. Bencilah, bukan orang lain, tapi dirimu sendiri. Dan berhenti menyalahkanku. Hantamkan jidatmu ke cermin dan katakan padaku, terus teranglah, bahwa kau cuma pecundang. Jadi diamlah. Kau pikir orang lain adalah bajingan? Yang benar saja. Tutup mulut busukmu. Apa hakmu menilai orang lain? Kaulah yang bikin sebal. Jangan kira banyak orang menyukaimu. Menggelikan sekali. Dekatkan hidung ke badanmu dan cium betapa busuknya dirimu. K
Dan kau takjub pada tulisan yang mampu menggerakkan mesin dalam dirimu; mesin kesedihan. Kau tahu menjadi sedih adalah pilihan buruk, tapi ia menjelma menjadi satu-satunya pilihan. Oh, ternyata keliru. Ada dua pilihan; merasa sedih atau merasa sangat sedih. Mungkin sedih bukan kata yang tepat. Tapi saat memikirkannya, kata itu seperti menggambarkan suasana yang kau sukai. Sebuah ruangan yang tak terlalu lapang, cahaya remang-remang, sore berawan mendung, angin berhembus dingin, dan malaikat maut mengintai dengan penuh kesabaran. Segala hal memudar kelabu sejak warna-warni gairah menguap begitu saja. Paragraf pendek seperti kisah hidup yang singkat. Dan mereka mahir sekali memadatkan misteri-misteri yang indah dalam masa yang singkat. Seperti kata yang dirajut mengikuti suara hati, sesekali kau dengar gemanya memantul di dinding ingatan; di lorong waktu tempat kita merayap perlahan-lahan. Dan kau takjub pada mesin yang menggerakkan kehendakmu; mesin kesedihan.
Udara tipis dengan aroma karbol. Sedikit dingin yang lumrah di tengah gempuran hujan. Lampu penerangan yang menyala dengan murung. Waktu merambat seolah kedua kakinya diamputasi. Ini malam yang baik untuk menceritakan kepadamu suatu peristiwa. Tanpa maksud tertentu, dalam suasana hujan begini, cerita ini memang baiknya disampaikan. Kalau kau pernah masuk rumah sakit, walau tidak sakit, kau akan tahu betapa atmosfer di sana tidaklah terlalu menyenangkan. Tenang, sejuk, berbau obat, tapi tidak menyenangkan. Ya, barangkali begitulah suasana yang tepat. Kau tahu, ada beberapa kisah yang memang mesti disampaikan dalam suasan murung. Bukan demi penghayatan, atau menguatkan kesan, atau apa pun. Semata karena cerita ini hidup dan ia memilih waktu untuk menemukan dirimu.
Kadang saya bertanya, "Dari mana rasa takut dan sedih muncul?" Kegelapan seringkali menyergap dengan tiba-tiba, sementara diri saya terlanjur penuh dengan keraguan: Tak ada tempat bagi tekad dan keyakinan Tak ada tanah lapang tempat harapan bisa tumbuh Tak ada kanak-kanak yang bermain dengan ceria. Hanya ada seonggok pemuda rapuh dan rentan patah, yang bersedih dan takut atas banyak hal sepele. Jika anda bertanya "Apa ada yang layak disesali?" Barangkali itu adalah saya sendiri
Kita semua hidup dengan memikul permasalahan masing-masing. Dan yang bisa kita lakukan hanyalah bertahan. Menjaga keutuhan diri dari gempuran rasa sakit dan kesedihan yang mendera. Apa yang membuat kita sanggup bertahan? Berapa lama ia akan menyangga diri kita? Sebagian dari kita berpegang erat pada seutas harapan dan meyakini dengan sepenuh hati bahwa badai akan segera berlalu. Beberapa sanggup bertahan, sementara yang lain tak kuat menahan terjangan angin lalu terpelanting jatuh ke jurang. Sebagian yang lain berdiri pada posisi yang lebih beruntung. Ada di antaranya yang sanggup belajar dari apa yang mereka lihat. Ada pula yang menikmati kebebasan dengan penuh khidmat, meski pada akhirnya melengahkan mereka. Tapi kita semua hidup, dengan memikul permasalahan masing-masing. Sebagian mengatasinya dengan baik, sebagian tidak. Dan dengan segala yang ada, kita hanya bisa terus bertahan. Menunggu waktu menyibak apa yang ia sembunyikan. Menunggu takdir mendatangkan apa yang sudah dijanjika

Lingkungan Informasi

Seharusnya sebuah artikel minimal terbit malam ini. Walau seberanya bukan sebuah keharusan juga, tapi janji pada diri sendiri memang gampang sekali diingkari. Kompromi pada keadaan dan rasa malas dan alasan yang diciptakan bersekongkol untuk menunda pekerjaan. Tapi mau bagaimana lagi, kata "terlanjur" telah akrab dan improvisasi menjadi tuntutan. Sebuah esai, seburuk apapun, mesti hadir malam ini juga. Paragraf di atas terkesan mengada-ada, dan memang demikian adanya. Semata saya hadirkan untuk menambah jumlah kata agar tulisan ini, secara keseluruhan, tampak seperti esai. Nah, sekarang mari masuk ke pembahasan. Dalam artikel mengenai definisi, yang menjelaskan bagaimana pemaknaan individu atas dirinya, disinggung pula bahwa lingkungan seringkali bersifat deterministik pada pembentukan karakter seseorang. Saya kira benar juga jika berkata lingkungan punya peran dalam membangun persepsi dan perspektif seseorang. Kejadian dan peristiwa yang ia alami di lingkungannya, menjadi

Status WA dan Jeda Kebisingan

Saya percaya akan adanya dinamika yang bergolak dalam diri manusia. Perubahan yang senantiasa ia alami, bisa jadi menggeser sudut pandangnya. Dan oleh sebab itu, pemahamannya atas sesuatu di satu waktu bisa berbeda di waktu lain. Kita tahu, persepsi dan perspektif adalah salah dua yang memengaruhi tindakan seseorang. Sekali waktu, saya memaknai "status whatsapp" sebagai penanda eksistensi saya. Alat untuk mengabarkan bahwa saya ada, unik, dan layak diperhatikan. Kemudian atas dasar itulah saya mengunggah bermacam status. Sebagai tambahan, saya ini orang yang payah dalam interaksi sosial. Saya buruk dalam membangun percakapan, dan sebab itu, lebih menyukai tulisan sebagai sarana untuk menyuarakan gagasan. Saya seorang penakut, tapi di sisi lain, saya juga menginginkan pengakuan atas eksistensi saya. Seorang penakut, anda tahu, lebih suka berbicara sambil menyembunyikan muka. Dan di saat yang sama saya juga cemas, jika keberadaan saya bakal tenggelam di tengah dunia yang riuh
Datang seperti angin di musim-musim dingin Mengabarkan geliat rindu yang menari Mengendapkan gigil di jendela inderamu Januari menggenenapkan apa yang hilang di ujung Februari Memeluk apa-apa yang luput Mendekap segala yang tak kentara Ketakutan, kesedihan, adalah juga kehangatan yang ditiup cuaca Seperti lapis cat yang terkikis di wajahmu Seperti layar koyak yang melambai di langkahmu Seperti kau, seperti aku.
Angin pagi membuka pintu balkon secara perlahan. Engsel-engsel tua yang mengganjal di celah kusen berderit. Kau duduk mengerjakan apa yang mesti kau kerjakan. Di atas meja, kau menaruh lembar-lembar kertas, gelas dengan kopi yang sudah tandas, dan alat-alat kerja. Kau menyendok sedikit ampas kopi, meloloskan sebatang Pall Mall dan mengoleskan ampas kopi di sana. Lalu menaruh sebatang rokok itu di asbak, tak jadi kau nyalakan. Kau berjalan ke balkon. Membiarkan angin pagi masuk lewat pintu yang ia buka. Musim telah menjadi dingin. Kau menggigil, saraf-saraf di bawah kulitmu mengabarkan bahwa kau mesti memakai jaket. Kau memilih mengabaikannya, dan mengamati pot bunga di depan jendela kamarmu. Kau bisa melihatnya dari balkon. Kau bisa melihat kesedihan mengendap di jendela kamarmu. Kau bisa melihat tanaman di pot itu mati. Kau bisa melihat kematian datang tanpa basa-basi.
Melesat ke atas sambil bersuit, lalu meletupkan semburat warna-warna. Mungkin sebab itu ia dinamai kembang api. Ia menawan, seperti mekar kelopak yang dijilat lidah-lidah api. Sekejap, lalu lenyap.