Seorang Tamu

Malam hari, menjelang tidur.
Kau menipu dirimu sendiri. Kenapa kau bicara berbusa-busa? Kau takut kebodohanmu terlihat? Harus kau tahu, itu tak ada bedanya dengan apa yang dilakukan orang yang kau benci. Kau masih sama, semilipun tak ada kemajuan. Tapi tak ada yang bisa kau sembunyikan dari dirimu sendiri. Kau tahu pasti. Dan kau menolak untuk menerimanya. kau lari dari kenyataan. Ayolah, hadapi aku. Lihat ke cermin. Semua cacat terpampang jelas. Tapi kau menciptakan ilusi. Kau menipu dirimu sendiri. Rasa aman, rasa nyaman, dan rasa percaya dirimu semua palsu. Bencilah, bukan orang lain, tapi dirimu sendiri. Dan berhenti menyalahkanku. Hantamkan jidatmu ke cermin dan katakan padaku, terus teranglah, bahwa kau cuma pecundang. Jadi diamlah. Kau pikir orang lain adalah bajingan? Yang benar saja. Tutup mulut busukmu. Apa hakmu menilai orang lain? Kaulah yang bikin sebal. Jangan kira banyak orang menyukaimu. Menggelikan sekali. Dekatkan hidung ke badanmu dan cium betapa busuknya dirimu. Kau menjijikkan. Jangan cengeng! Kau pikir air matamu akan membuatku bersimpati. Itu membuatku makin kepingin meludahi tampangmu. Dasar payah. Aku belum selesai. Marah memang bikin capek tapi kau harus tahu hal ini. Dan jangan kira kau pintar. Ingat dengan baik dan jangan kau lupakan.

Pagi hari, sebelum sarapan.
Jangan bodoh. Kendalikan dirimu. Kau harus tahu diri. Aku akan coba menjelaskannya agak halus kali ini. Kau harus pahami bahwa itu gejala erotomania. Yah, mungkin aku memang bukan pakar. Tapi urusan ini terang sekali. Kau delusional. Entah mana yang lebih dulu, tapi aku yakin dua hal ini berkaitan, antara sifatmu yang delusional dan ekspektasi yang terus kau pelihara. Itu cuma bikin kita berdua sakit. Jadi berhentilah. Tolong pahami bahwa meski itu kebutuhanmu, kau melibatkan orang lain. Urusan yang mengikut sertakan orang lain bisa jadi rumit dan aku tak terlalu suka kerumitan-kerumitan yang tidak perlu. Aku memahami rasa sakitmu, percayalah. Jadi ini pertimbanganku, dan aku menyarankanmu untuk melakukannya. Pikirkan baik-baik.

Hampir sore.
Bung, kupikir kita telah mencapai mid-ground. Entitas kita masing-masing telah melebur. Dan, yah, kurasa kita harus merasa senang. Kupikir itu kabar baik, karena itu berarti kau tidak mengidap depresi. Kau cuma delusional dan kurasa sekarang kau tahu bagaimana harus mengendalikan diri. Mungkin lain waktu aku akan datang lagi, barangkali dengan bentuk berbeda, dan kau harus tetap menulis. Kau ingat dengan pendahuluku, orang yang selalu memakai jas rapi dan duduk menyilangkan kaki menceramahimu, tapi kau tak ingat wajahnya. Dan yang lebih parah kau tak ingat apa yang ia ucapkan. Jadi aku telah menyampaikan apa yang harus kusampaikan dan seterusnya kau bisa putuskan sendiri. Tugasku telah kutunaikan, dan bebanku telah tuntas. Jadi mungkin aku harus pamit, dan kau harus tahu bahwa ini bukan berarti perpisahan. Masa depan belum ditentukan dan kau mungkin jatuh ke lubang ketololan lain. Kalau kau jatuh ke lubang ketololan yang sama, astaga, aku sulit sekali membayangkan sebebal apa kau ini. Jadi, yah, jangan tolol. Catat saja itu.

Komentar