Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2019

Status WA dan Jeda Kebisingan

Saya percaya akan adanya dinamika yang bergolak dalam diri manusia. Perubahan yang senantiasa ia alami, bisa jadi menggeser sudut pandangnya. Dan oleh sebab itu, pemahamannya atas sesuatu di satu waktu bisa berbeda di waktu lain. Kita tahu, persepsi dan perspektif adalah salah dua yang memengaruhi tindakan seseorang. Sekali waktu, saya memaknai "status whatsapp" sebagai penanda eksistensi saya. Alat untuk mengabarkan bahwa saya ada, unik, dan layak diperhatikan. Kemudian atas dasar itulah saya mengunggah bermacam status. Sebagai tambahan, saya ini orang yang payah dalam interaksi sosial. Saya buruk dalam membangun percakapan, dan sebab itu, lebih menyukai tulisan sebagai sarana untuk menyuarakan gagasan. Saya seorang penakut, tapi di sisi lain, saya juga menginginkan pengakuan atas eksistensi saya. Seorang penakut, anda tahu, lebih suka berbicara sambil menyembunyikan muka. Dan di saat yang sama saya juga cemas, jika keberadaan saya bakal tenggelam di tengah dunia yang riuh
Datang seperti angin di musim-musim dingin Mengabarkan geliat rindu yang menari Mengendapkan gigil di jendela inderamu Januari menggenenapkan apa yang hilang di ujung Februari Memeluk apa-apa yang luput Mendekap segala yang tak kentara Ketakutan, kesedihan, adalah juga kehangatan yang ditiup cuaca Seperti lapis cat yang terkikis di wajahmu Seperti layar koyak yang melambai di langkahmu Seperti kau, seperti aku.
Angin pagi membuka pintu balkon secara perlahan. Engsel-engsel tua yang mengganjal di celah kusen berderit. Kau duduk mengerjakan apa yang mesti kau kerjakan. Di atas meja, kau menaruh lembar-lembar kertas, gelas dengan kopi yang sudah tandas, dan alat-alat kerja. Kau menyendok sedikit ampas kopi, meloloskan sebatang Pall Mall dan mengoleskan ampas kopi di sana. Lalu menaruh sebatang rokok itu di asbak, tak jadi kau nyalakan. Kau berjalan ke balkon. Membiarkan angin pagi masuk lewat pintu yang ia buka. Musim telah menjadi dingin. Kau menggigil, saraf-saraf di bawah kulitmu mengabarkan bahwa kau mesti memakai jaket. Kau memilih mengabaikannya, dan mengamati pot bunga di depan jendela kamarmu. Kau bisa melihatnya dari balkon. Kau bisa melihat kesedihan mengendap di jendela kamarmu. Kau bisa melihat tanaman di pot itu mati. Kau bisa melihat kematian datang tanpa basa-basi.
Melesat ke atas sambil bersuit, lalu meletupkan semburat warna-warna. Mungkin sebab itu ia dinamai kembang api. Ia menawan, seperti mekar kelopak yang dijilat lidah-lidah api. Sekejap, lalu lenyap.