Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2018
Pikiran yang resah akan sulit mengurai permasalahan. Bahkan hal-hal sederhana bisa jadi tampak seperti gumpalan benang kusut yang membikin lelah meluruskannya. Tapi sekelebat gagasan ini muncul, dan ia mendesak untuk ditulis. Tren yang berkembang di tengah masyarakat muslim Indonesia, terutama di kalangan urban, yakni fenomena "hijrah" banyak digaungkan oleh kawula muda. Saya bukan pengamat sosial dan tidak memiliki kecakapan yang memadai untuk menyampaikan mengapa fenomena ini bisa merebak sedemikian luas. Ada beberapa dugaan kasar saya, dan salah satunya berkaitan dengan karakter masyarakat kita, terutama karakter beragama yang cenderung konservatif. Warna konservatif ini semakin naik ke permukaan dan menjadi populer utamanya setelah terjadi kasus yang kental berbau politik. Oke, saya melantur. Jadi poin yang ingin saya tegaskan di sini adalah pengunaan term " hijrah " bagi tindakan mereka. Tindakan ini, sependek jangkauan pemahaman saya, berbentuk pengalihan to
Kepadaku, dia mengabarkan, "Tak ada yang mencarimu."
Kepada orang yang menemukan kerling tatapanmu Di garis batas ini aku mengirim Lewat bentang dan kepak yang digugurkan kesumba dari rute migrasi sekawanan sajak Lewat musim yang mengabarkan gerah dan gigil yang mengendap di jendela indramu Lewat lembar-lembar halus punggung bukit yang berkabut dan awan yang mengapung rendah seperti tirai sutra yang rebah Sebuah pesan untuk tetap waspada Dikabarkan oleh para paria Melalui retak celah yang terluput Tak ada perlindungan dari cinta

Ringkasan Tarikh dalam Tiga Bagian

I Tigabelas Januari, katamu Pada bait-bait sajak yang belum kau selesaikan Dan nafas panjang yang kau hirup-hembuskan Aku menggenggam pergelangan tanganmu Dalam pelarian ini tak ada istilah yang diperdebatkan Kekalahan adalah satu-satunya yang bisa diterima Dalam pusaran siklus Desember yang menjebakmu Kemarahan adalah badai yang mekar dari gersang gelisahmu II Yang berdesakan di sudut rima Yang menjejali sela-sela ingatan Pada cermin dan besi yang memantulkan binar gemintang Apa yang berkerlip adalah noktah di petala semesta Tiga buah kata, sudah terlalu sering direpetisi November dan preambul yang mengabarkan padamu ihwal perselisihan sederhana Pertikaian yang berlangsung sekejap di sore kala itu Aku memejam, memeram gagasan III Pengecut yang melarikan diri dari jerat dan muslihat Bukan kau, duduklah saja dulu Urusan sepele yang tak pernah sanggup kauselesaikan Pemakluman yang mendingin seperti siut kencang Bergemerisik, merisak, debu yang bergesekan Ketidakn
Dulu, saya selalu ingin mencoba sampai mana batas yang bisa saya lakukan. Sampai sejauh mana tubuh saya kuat menerima beban. Tapi ternyata sekarang saya menyadari bahwa ada dua batasan dalam diri saya: batasan fisik dan batas mental. Yang menjadi motivasi saya untuk terus bekerja keras di masa lalu adalah rasa sakit hati. Dan sekarang, saat perasaan saya sudah diimunisasi, ia jadi lebih kuat. Tapi ini prasangka baik saya. Diagnosa buruknya, sakit hati yang dulu saya alami tidak tertangani dengan baik. Dan sekarang hati saya mati rasa. Dalam kondisi seperti itu, rasanya sukar untuk mendapatkan motivasi karena segala sesuatu ternyata bisa dipandang dengan skeptis.
Naluri saya selalu terpikat pada segala hal yang mudah dan menyenangkan. Sebagai hewan, akan jadi sukses besar jika saya menjalani hidup hanya dengan melakukan hal yang mudah dan menyenangkan.Tapi masalahnya adalah saya manusia yang hidup di tengah peradaban yang terus berkembang. Hanya mau melakukan sesuatu yang mudah dan menyenangkan tidaklah cukup. Ada tuntutan, tugas, tanggung jawab yang mesti diselesaikan. Dan sialnya itu semua, seringkali, tidak mudah dan tidak menyenangkan.
Di sudut kepalamu ada rak kecil tempat ingatan menyimpan nama-nama. Dicetak dengan tinta hitam berfon seragam di atas kertas-kertas putih. Semua dokumen tersusun rapi meski sesekali kau juga kerepotan. Misal jika berpapasan dengan orang yang menyapamu dan kau juga ingin menyapa tapi kesulitan mengingat namanya. Tak apa, lupa itu manusiawi asal jangan sering-sering lupa. Nah, sekarang kupunya soal untukmu. Di sudut sana masih adakah selembar nama? Namaku yang barangkali sudah kau lupa.
Suara-suara berdengung di kepalamu. Gesekan biola, denting piano, dan petikan gitar adalah musim yang hujan dan kemarau. Pada paragraf ini hendak kutuangkan setangkup makna yang direguk dari sebuah kolam di sudut paru-parumu. Dari nafas yang kau hirup hembuskan, yang habis yang tak bisa kaugantikan. Aku ada di sini, membacakan dan menyanyikan untukmu suara-suara sunyi. Suara-suara yang berdenging di kepalamu.