Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Sejuta, Datang dan Pulang

Dalam sepaket cinta Selain rindu, ada rasa apa saja?

Menepi, Berintrospeksi

Benarlah peribahasa "kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak". Kita, atau lebih tepatnya saya, sering abai pada kekurangan yang ada pada diri sendiri. Merasa semua yang ada pada diri saya sudah sempurna tanpa menyadari bahwa perilaku dan sikap saya menyusahkan orang lain. Dengan semena-mena saya menghakimi dan menuduh salah pada orang-orang yang tak sepaham dengan saya. Pada saat yang sama saya merasa bahwa keyakinan saya paling benar san saya sudah menjunjung tinggi toleransi. Ini adalah gejala dari penyakit hati yang parah. Maka semestinya saya merasa beruntung saat ada hal-hal yang pahit dan tak diinginkan menghampiri saya. Seolah saya membentur cermin dan dipaksa untuk berkaca, "lihat dirimu sendiri dan carilah kesalahanmu, perbaiki diri dan jadilah orang yang tahu diri". Begitulah cara halus dari Allah menegur hambanya. Beruntung saya tidak dibiarkan berlama-lama berkubang dalam kesalahan untuk kemudian menerima siksa yang pedih.

Bagian Terbaiknya Adalah Kebosanan

Pernah baca Arthur Harahap? Kalau iya, pasti merasa bahwa hidup ini memang begitu. Kita seperti seorang profesor yang dikutuk raja laut selatan karena menghina seekor blobfish. Dipaksa untuk menghitung bulu domba dan melaporkannya setiap sore. Berusaha membikin formula yang menggampangkan perhitungan tapi sia-sia, sebab kepintarannya terlanjur diambil paksa pihak kerajaan. Dan sayangnya, tak ada kartu 'penghapusan kutukan' di kamus kerajaan laut selatan. Setiap hari menjalani kutukan yang menjemukan, lalu tiba tiba berhenti pada satu kata yang bercetak tebal: TAMAT

Sekolah dan Siswa yang Gagal Mencintai Buku

Salah satu problem yang diderita oleh sebagian besar sekolah di Indonesia adalah gagalnya mereka dalam membuat anak didiknya gemar membaca. Baru saja saya baca keluhan dari seorang wali murid sekaligus penulis favorit saya bahwa ia menyekolahkan anaknya atas dasar harapan maksimal yang bisa ia gantungkan kepada sekolah: menjadikan anaknya pandai menyampaikan sesuatu, berkata tidak kepada hal hal yang tidak disenanginya, memiliki keterampilan dalam mengerjakan sesuatu yang ia senangi, tahu cara membangkitkan diri saat ia melemah, dan lain lain. Namun beliau menyadari bahwa sekolah tidak bisa memenuhi harapan tersebut. Lalu beliau menurunkan harapannya ke tingkat minimal: menjadikan anaknya mencintai buku. Namun ternyata sekolah juga gagal dalam hal ini. Jika terus demikian, maka pupuslah harapan para marhaenis yang memimpikan bahwa sekolah bisa mencetak anak didik berkepedulian tinggi dan mencintai fakir miskin. Jangankan mencintai golongan lemah, membuat anak didik mereka gemar menul

Mencintai Keturunan Sang Nabi

Kewajiban kita adalah mencintai keturunan Kanjeng Nabi. Tapi apabila keturunan tersebut memperagakan perilaku yang membuat kita sulit mencintainya, apa yang harus kita lakukan? Jangan membencinya. Kenapa? Atas nama kecintaan kita kepada Sang Nabi. Lalu jika kita tidak boleh membencinya, bagaimana mencintainya? Cintai ia dengan cara lain, dengan tidak membenarkan perbuatannya jika ia memang berlaku salah, dengan 'meluruskan'nya sesuai dengan kemampuan yang kita punya. Bukankah mencintai bisa ditempuh dengan banyak cara?