Sekolah dan Siswa yang Gagal Mencintai Buku

Salah satu problem yang diderita oleh sebagian besar sekolah di Indonesia adalah gagalnya mereka dalam membuat anak didiknya gemar membaca. Baru saja saya baca keluhan dari seorang wali murid sekaligus penulis favorit saya bahwa ia menyekolahkan anaknya atas dasar harapan maksimal yang bisa ia gantungkan kepada sekolah: menjadikan anaknya pandai menyampaikan sesuatu, berkata tidak kepada hal hal yang tidak disenanginya, memiliki keterampilan dalam mengerjakan sesuatu yang ia senangi, tahu cara membangkitkan diri saat ia melemah, dan lain lain.

Namun beliau menyadari bahwa sekolah tidak bisa memenuhi harapan tersebut. Lalu beliau menurunkan harapannya ke tingkat minimal: menjadikan anaknya mencintai buku. Namun ternyata sekolah juga gagal dalam hal ini.

Jika terus demikian, maka pupuslah harapan para marhaenis yang memimpikan bahwa sekolah bisa mencetak anak didik berkepedulian tinggi dan mencintai fakir miskin. Jangankan mencintai golongan lemah, membuat anak didik mereka gemar menulis saja rasanya sulit bukan main. Atau jangankan mencintai fakir miskin, membuat anak didiknya mencintai buku saja rasanya sesuatu yang setara memindah sebongkah gunung.

Sekolah yang problemnya sedemikian serius ini, ternyata hendak ditambahkan jam ajarnya oleh Pak Mentri. Kebijakan ini memantik kontra dari pihak yang mendukung eksistensi madrasah diniyah (sekolah keagamaan). Kenapa? Karena jam sekolah yang ditambah tentu memangsa jam ajar madrasah diniyah. Padahal, menurut pihak tersebut, madrasah diniyah lebih bisa memberikan pendidikan moral/akhlak kepada anak didiknya. Terlebih, madrasah diniyah inilah yang membuat sebagian besar anak-anak umat islam pandai membaca Al-Quran. Jika demikian, bagaimana masa depan Indonesia?

Apa mungkin problem sebenarnya bukan dari sekolah, melainkan lebih dalam lagi: problem itu terletak di dalam kultur masyarakat. Sehingga seperti apapun sistem dirombak, ia tetap dijalankan oleh masyarakat yang berkembang dari kebudayaan yang melenceng dari nilai nilai kebajikan. Lalu dari mana asalnya kebudayaan yang melenceng tersebut? Wallahu A'lam, mari berintrospeksi.

Komentar