Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Waktu yang Sempit dan Sedikit

Sebetulnya, sejak kemarin2, berminggu2 kemarin, saya berniat ingin mengisi blog ini dengan apa yang menurut teman pak AS Laksana adalah kebahagiaan yang bisa mendatangkan rezeki. Sayang sekali, rasa kantuk saya ternyata lebih perkasa dan ia menggagahi i'tikad menulis sebelum tidur yang saya canangkan sejak lama. Oleh sebab itu, agar blog ini tidak terkesan tidak terurus, malam ini saya akan berbagi oleh2 sepulang ngaji: Makhluk yang banyak digunakan sandaran bersumpah (muqsam bih) dalam al-Qur'an salah satunya waktu. Misal: [wal-layli idza yaghsya, wan-nahari idza tajalla; wad-dhuha; wal-'ashr; was-shubhi; dsb.]. Mengisyaratkan bahwa manusia harus memperhatikan waktu. Sebagaimana dawuh Imam Ghazali dalam Bidayah al-Hidayah. Yang terjemahan bebasnya kurang lebih: "Waktumu adalah modal utama yang kau belanjakan (pada amal saleh) untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Ia bagai intan permata yang tak ternilai harganya. Maka ketika kau melewatkannya, tak ada yang bisa me

Mawar Baru

Di antara cecabang ingatan yang rimbun dalam pikiran Mekar mawar baru di atas luka lama yang menganga Aku cemas pada duri di tangkainya yang limbung terpapar angin Cemas bila suatu ketika aromanya menggores luka Seperti bau hujan dan wangi kain pakaianmu yang senantiasa menggiring ingatanku Pada apa yang susah payah kutahan Dan namamu yang dengan malu-malu kusematkan di ujung doaku

Cuaca Hujanmu

Aku gemar menebakmu seperti aku menduga cuaca Senang saja menanti matahari yang terselip di sela mendung Aku tahu bahwa sebetulnya semua awan kelabu hanyalah bentuk lain punggung tanganmu Maka hujan berarti derai telapakmu yang basah membelai tanah Sungaiku adalah anak-anak tanpa muara Tanpa hulu hanya menghimpun hujan Rindu yang bertubi-tubi mengutus tanya . . . . . Ditulis di sela pelajaran. Mengeja kesempatan, seperti menggapaimu di balik tirai-tirai hujan

Merepotkanmu

Aku menaruh cemas di sedekapmu Lenganmu yang lunglai kedinginan Tanpa pernah dapat kuhangatkan Pada gigil gemetar tidur lelapmu Yang tak pernah sanggup kugapai Aku benci merepotkanmu Membuatmu tahu jika aku mencintaimu Tentu akan banyak menumpahkan beban di kedua pundakmu Aku benci menyusahkanmu Memberi tahu padamu bahwa aku selalu merindumu Pasti senantiasa membubuhkan garis hitam di kedua matamu Sebab kelelahanmu ikut menanggung perasaan Maka biar kutanggung sendiri Karena sebenarnya aku paham betul Mencintaimu adalah kesanggupanku Berbicara pada kebisuan Melihat pada kegelapan Mendengar kesunyian Mencium endap aroma malam Maka sekarang berkemaslah, istirahat Barangkali esok kau harus berpagi-pagi menuju harapan Nanti biar aku mengantarmu sambil menitip salam Dan sekotak tangis buat bekal di perjalanan

Awan Malam

Aku hanya serambi sunyi yang kehilangan tiang tiang cahaya Tepat menghunjam ujung petala malam Langit legam yang gelap dosa Kuminta kau mengirim badai Seberkas gelegar menyala di rahim awan kelabu Abai pada pertanda riuhmu aku tetap bergeming Menanti hujan menyanyikan pilu Setega itu aku membunuh waktu Menatapmu yang susah payah menahan hujan Agar tak lagi jatuh di dahan yang gugur Pada kerinduanmu aku mengikat suara Sepasang langkah pada titian masa

Menulis dalam Kesunyian

Jam di gawai android saya menunjukkan pukul 13:32. Hari masih siang dan ada banyak hal yang harus saya kerjakan. Tapi betapapun, rasanya saya tetap harus menerbitkan tulisan ini–betapapun jeleknya–sebab belum tentu nanti malam akan ada waktu yang cukup sebelum kantuk memaksa saya bergegas tidur. Saya ingin menulis, itu saja. Latar belakang yang kelewat simpel, tapi itu sudah cukup sebagai alasan memulai kebiasaan baru yang bisa jadi aktivitas positif. Beberapa hari belakangan saya membaca ulang esai2 dari penulis kesukaan saya: AS Laksana dan Zen RS, serta berita-berita yang berseliweran di dunia maya. Banyak hal yang akhir2 ini meriuh-risaukan jagat manusia. Di Indonesia, ada kasus gubernur ibukota yang didemo sebab kalimat yang diucapkannya dinilai sebagai penistaan. Sebenarnya itu kasus yang bagus, terlebih jika anda melihat Bangsa ini sebagai sebuah thriller. Setelah beberapa picuan, akhirnya meledaklah aspirasi jutaan manusia dalam wujud demo, dan buntut kejadian itu bak tentak

Setapak Kita

Kita adalah jalan setapak Membelah waktu yang basah kenangan Terselip antara rinai rintik hujan Bertukar langkah, bertautan Bersidekap memendam cemas Adakah pada cecabang alur di depan, Jauh terjal selepas batuan, Kita berpisah di ujung simpangan?

Kesimpulan Keliru

Sebelum keraguan-keraguan itu menyergap kepalamu, Dan membuat diskusi yang riuh Baiknya kau pergi munajat: Konsultasi pada Yang Maha Sejati Agar ada kepastian, Dan "aku mencintaimu" Bukan kesimpulan yang keliru . . . . . Saya teringat pada fragmen kecil di film [the Theory of Everything] saat Jane Wilde berkata "I have loved you", lalu spontan, tergesa tapi tegas Stephen Hawking menimpali "itu kesimpulan yang keliru"

Menyeberang

Aku ingin mengantarmu, dari jagat makna ke jagat aksara Lalu mengejawantahkanmu pada kosmos karsa dan karya Agar terwujud dihadapanku, Seutuhnya dirimu Siang menjelang, tanpa mandipun aku betah menerjemahkanmu

Mukadimah

بسم الله الرحمن الحيم الحمد لله الذي نزل القرآن هدا للمتقين والصلاة والسلام علي سيدنا محمد و علي آله الطيبين و اصحابه المطهرين ومن تبعهم باحسان الي يوم الدين اما بعد: Pembaca yang budiman, barangkali anda hendak mengajukan tanya: kenapa saya sampai di situs ini? Maka ijinkan saya menjawab sekenanya: entah tuan, barangkali memang takdir Tuhan atau sesuatu yang tampak semacam kekeliruan, namun yakinlah bahwa dibalik setiap kejadian, setiap perkataan, bahkan setiap ketidaksengajaan, ada hikmah di sebaliknya yang patut kita temukan. Maka jika anda temukan kebajikan di sini, panjatkan syukur pada Tuhan, dan doakan saya agar peroleh kebaikan yang sama. Sebaliknya, jika anda temukan kesalahan, luruskan saya dan panjatkan ampun pada Tuhan atas tiap kekeliruan. Satu lagi: ini hanya kumpulan catatan, hasil dari kata2 yang bekerja di kepala saya dan pasti tak luput dari cela. Sebab saya bukan insan yang nir-mala. Nafsu kadang (tepatnya sering) menungganggi  akal dan hati saya. Oleh ka