Mata Air yang Membasuh Kejombloan

Ada satu tantangan menarik untuk menulis komedi tapi tidak dalam bahasa keseharian. Maksudnya, komedi dalam bentuk semacam set up dan punchline stand up, tetapi memakai bahasa yang, bisa dibilang, sedikit lebih baku. Saya tertarik mencobanya dan mungkin kita lihat, apa saya bisa melakukannnya?

Jadi untuk berhasil menaklukkan tangangan itu, tentu mesti dipahami seperti apa model penulisannya dan teknik yang lazim dipakai dalam stand up comedy. Rasanya terlalu malas untuk menjabarkannya. Hahaha. Padahal, ini cuma alasan karena sebetulnya saya juga tak paham apa yang saya bicarakan.

Baik, daripada saya mengoceh tidak jelas, saya sampaikan kepada anda, yang mungkin sedang tidak libur atau mungkin sedang liburan tapi cuma tiduran sambil mengusap-usap layar gawai, bahwa kemarin kami telah mengunjungi mata air di daerah Jabal Mukattam. Puji Tuhan, tidak ada yang tenggelam, karena airnya memang cuma sedangkal dada, dan rasa kasihan kepada Masisir kalau uang mereka habis demi donasi kepulangan jenazah.

Menurut sebuah kabar palsu yang dipalsukan, mata air itu bernama Ain Musa. Entah siapa yang menamai dan kenapa dinamai begitu, mungkin saking lekatnya kisah Nabi Musa dan Negeri Mesir. Anda tahu, Nabi Musa pernah memukul sebongkah batu dengan tongkat saktinya dan keluarlah duabelas mata air sebagai sumber minum bagi kaumnya. Enak juga seandainya kita bisa minta tolong pada beliau untuk membikin yang semacam itu lagi, supaya kita tidak harus minum air kaporit atau repot mengganti filter air tiap tiga bulan sekali.

Ain Musa ini tersembunyi di balik bongkahan tanah gunung Mukattam, airnya sejernih mata kekasih, memantulkan warna biru turquoise, rasanya payau tak terlalu tawar, dan jadi habitat bagi ikan-ikan kecil serta lumut yang jadi sumber nutrisi bagi mereka. Kolam kecil ini dikelilingi vegetasi rumput mirip tebu yang cukup lebat sehingga membantu menyembunyikan keberadaannya dari hiruk pikuk dunia manusia. Suasananya juga cukup tenang, hanya ada gemercik air dan sesekali daun-daun kemersik ditiup angin. Tak ada kawanan kecebong dan kampret yang gemar memperkeruh lingkungan dengan perdebatan politik.

Dalam benak, saya membayangkan akan mengajak wanita kesayangan untuk mengunjungi tempat itu. Mendengar tawa gelinya saat kawanan ikan mungil mengecup kulit kakinya. Kain kerudung--atau rambut?--nya tergerai dan berkibar tertiup angin. Mungkin ia memakai parfum seperti lumrahnya wanita bepergian, mungkin ia sama sekali tidak mengenakan make up. Ujung roknya ia biarkan basah. Dan saya mengibaskan tikar kain, menata kue buatan rumah, merapikan sandal, duduk menikmati desir hangat yang menjalari hati. Ah, kenapa jatuh cinta bisa begitu indah saat dibayangkan?

Komentar