Nanti Saja

Dalam ruang gelap lepas tengah malam, saya mulai menulis pelan-pelan, tanpa maksud lain kecuali melatih kelenturan jari dan memantapkan teknik-teknik dasar. Tekad yang saya susun mungkin tak terlalu bulat, seperti bola yang kempes anginnya. Tapi untuk konsisten menulis dan menerbitkan sesuatu kita tak mesti menunggu tekad yang sekukuh tiang listrik. Kita bisa memulai dari hal yang sederhana seperti berusaha menulis cepat dan melatih pikiran agar ia mampu bekerja lekas dan lepas.
Saat menulis ini sebenarnya ada tugas yang terbengkalai dan ia menunggu untuk dituntaskan. Tapi saya tak pernah punya tekad kukuh dalam hal apapun. Segala hal terasa gamang dan abstrak. Seperti lamunan yang lepas di balik jendela saat menaiki angkutan umum. Tertiup angin sore dan terbasuh semburat senja. Keputusan yang diambil dari angin lalu menjelma jadi keinginan yang tak bisa digenggam. Saya ingin menyelesaikan ini itu dan lain lain, tapi seperti menikmati waktu yang terbuang untuk melarikan diri dari tanggung jawab. Saya tak tahu harus memulai dari mana atau seperti apa. Dan akhirnya penyesalan dan rasa bersalah menumpuk di sana sini. Menggumpal dan menyumbat jalan pikir, menjegal langkah, dan menyandera tindakan.
Bahkan meski pikiran mandek dan rasa sungkan merangkul, hidup tetap berjalan. Maka tak ada pilihan lain yang sebaik menuntaskan dosa menunda. Saya bisa saja memutuskan untuk lari dan menjadi pecundang, tapi itu tindakan konyol. Dalam hidup yang tak seberapa lama ini, pilihan untuk menjadi pecundang sama artinya dengan mati prematur. Saya akan terus mencoba, meski tertatih dan tersungkur, untuk bertanggung jawab pada pilihan yang telah saya ambil.
Dan itu semua bisa dimulai dari mana saja, termasuk tulisan ini. Maka, seperti pemain bola yang tak selalu bermain dalam pertandingan, kadang ia juga sekedar lari-lari kecil, atau berlatih menggocek bola yang kempes anginnya.

Komentar