Transkrip Bincang Santai Bersama MQS di Wisma Nusantara, 29 Januari 2020


Unduh salinan teks (.pdf):
Gdrive
Mediafire

Unduh file suara (.3gpp):
Gdrive
Mediafire

_____-=-_____

Bincang Santai Bersama Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA

Saya, tentu saja, kalau kembali ke Mesir bernostalgia. Banyak hal yang muncul dalam benak saya, salah satu di antaranya saya dengar jumlahnya [mahasiswa indonesia] sudah delapan ribu lebih? Di masa saya dulu seratus orang atau kurang, itu tahun 1958. Sewaktu itu, salah seorang dosen di al-Azhar ketika dia mengetahui bahwa sudah ada seratus orang dari Indonesia yang belajar di sini, beliau berkata begini, “Syekh Muhammad Abduh pernah berkata, ’Berikan pada saya sepuluh orang untuk saya didik, sepuluh orang itu cukup untuk mengubah dunia.’” Nah, kalau delapan ribu ini luar biasa ya? [“Mengubah dunia akhirat,” timpal Pak Aji yang langsung disambut tawa hadirin.]

Itu yang pertama. Tentu saja ada syarat-syarat yang diperlukan untuk itu. Yang pertama, saya ingin mengemukakan kembali ucapan seseorang. Di pembaringan maut dia berkata, “Saya tadinya bercita-cita mengubah dunia, tapi saya gagal. Maka saya turunkan target saya, ingin mengubah negeri saya, saya pun gagal. Saya turunkan lagi, ingin mengubah suku saya, saya pun gagal. Saya turunkan lagi, ingin mengubah keluarga saya, saya pun gagal! Sekarang di pembaringan maut, saya sadar bahwa seandainya dulu saya berusaha mengubah diri saya terlebih dahulu, bisa jadi saya mampu untuk mengubah keluarga, demikian seterusnya sampai bisa mengubah dunia.” Jadi persoalannya, “Bagaimana memulai?” Mulai dari diri anda, ubahlah diri anda! Itu yang pertama.

Saya teringat lagi, dulu di tahun 1958 itu belum ada WA. Telepon pun kita tidak mampu. Ada, tapi mahal sekali. Beasiswa cuma 2,5 pound. Dapat surat paling cepat tiga bulan sekali, itu surat berulang-ulang kita baca. Saya kalau dapat surat dari orang tua saya—ayah saya—selalu ditutup dengan dua pesan:
  • Pesannya yang pertama, bergaullah dengan orang-orang yang engkau bisa mendapat ilmu/manfaat darinya,
  • Yang kedua, gunakanlah kesempatan sebanyak mungkin untuk memperdalam bahasa, karena bahasa itu adalah kunci pengetahuan.
Hanya itu, terus itu selalu: Bergaul dengan orang-orang yang memberi manfaat, yang akhlaknya baik, dan lain-lain sebagainya. Apalagi dalam konteks belajar agama, ya, kan? Carilah—yang anda ingin meraih darinya manfaat—orang yang faham agama. Saya dengar sekarang saudara-saudara banyak belajar dari luar, ya? Pilih-pilih, karena kalau tidak, saudara akan gagal. Lihatlah ustadz-ustadz/guru-guru yang betul-betul memahami agama ini. Jangan mengandalkan Google, belum tentu benar itu semuanya. Dulu waktu belajar di sini, saya selalu bersama Syekh Abdul Halim Mahmud. Saya sering naik bis dengan beliau, rumahnya di Abbasiyah, bisnya lewat Buuts dan [saya] naik di Buuts. Selalu bersama beliau. Dan saya, di buku-buku saya, itu saya tulis bahwa ada dua orang yang sangat berpengaruh pada diri saya: yang satu itu kiai saya yang di pesantren, Habib Abdul Qadir Bilfaqih, dan yang kedua Syekh Abdul Halim Mahmud. Itu sangat berpengaruh, pengajarannya melekat. Itu sebabnya saya katakan, bisa jadi apa yang saya dapat di Indonesia—dari guru Syekh Abdul Qadir Bilfaqih itu dalam dua tahun di sana—lebih mantap daripada apa yang saya dapat di sini bertahun-tahun. Kenapa? Mereka ikhlas mengajar. Kiai-kiai kita di pesantren itu sangat ikhlas, hubungan dengan jiwa. Saya tidak akan berbicara bagaimana itu hubungan antara guru dengan murid dan bagaimana pengaruhnya, hanya itu yang saya ingin katakan. Intinya pilih-pilih. Di Mesir ini ada peribahasa, [kepada] setiap orang yang datang, Mesir berucap, “Man mitslak katsir!” yang seperti kamu ini banyak di sini. Kalau anda seorang alim, di sini banyak! Anda pencuri? di sini banyak! Man mitslak katsir, jadi harus pandai-pandai memilih, itu pesan saya.

Ini, kan, katanya mau bicang-bincang santai, ya? Oke, saya sedikit lagi, sisanya kita bicang-bincang. Yang kedua, saya ingin berkata begini, saya pernah satu pesawat dengan Grand Syekh, saya di pesawat khusus waktu dia datang ke Indonesia. Kita ngobrol banyak, antara lain saya berkata begini, “Maulana, yang mana, sih, sebenarnya yang benar, al-‘adah muhakkimah atau al-‘adah muhakkamah?” Jawabannya kira-kira apa? Dia katakan, “Yang penting kamu jangan bilang al-‘adah mahkamah.” [hadirin tertawa]

Saya ingin berbicara tentang adat. Setiap masyarakat punya adat kebiasaan, ya, kan? Saya sangat memperhatikan itu. Ada adat kebiasaan di satu negeri yang berbeda dengan adat kebiasaan di negeri lain. Ada orang-orang yang tidak mengerti agama ingin menjiplak/menjadikan adat kebiasaan dalam satu masyarakat sebagai ajaran agama, sehingga memaksakan bahwa anda harus begini. Mau lihat buktinya? Cadar. Bagaimana cadar? Itu adat atau bukan? Di Azhar apa yang diajarkan? Terlepas apa pun pendapat anda, ada yang menjadikan ini harus, ini wajib! Padahal itu adat.

Yang mana lebih baik—Nah, kita lihat ini ya, nanti bukan saya yang jawab, saya akan beri [tahu] siapa yang menjawab—Anda pergi ke masjid pakai sarung dan peci hitam, atau pergi ke masjid pakai peci putih? Bukan saya yang jawab, buka internet, jawabannya akan diberikan oleh Bin Baz. Supaya tidak ragu-ragu, nanti dikutip al-Syathibi dan lain-lain sebagainya. Dia katakan, agama memerintahkan kita memelihara adat kebiasaan, dan adat itulah yang lebih baik. Karena waktu itu orang bertanya, “Saya pakai kopiah ala Saudi atau saya pakai kopiah ala Oman?” (dia dari Oman atau dari mana begitu.) Pakai kau punya pakaian nasional, itu lebih bagus. Tapi ada, kan, orang berkata, “Kalau tidak pakai, salah.” Ini kita mengambil adat kebiasaan orang lain untuk kita jadikan tanda keberagamaan, padahal belum tentu begitu, ya, kan? Oke, ndak usah kaget-kaget kalau dengar saya.

Alquran berkata, setiap umat/masyarakat ada adat kebiasaannya, ada nilai-nilai yang dianutnya,

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍ...

Apa lanjutannya? ... كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْ...

“... Begitulah Kami memperindah bagi setiap umat amal (kegiatan-kegiatan) mereka.” Setiap umat beranggapan bahwa inilah yang terbaik bagi kami, walaupun apa yang dianggap terbaik oleh umat itu, boleh jadi, buat kita itu buruk. Tapi karena itu adat kebiasaannya, itu pandangan hidupnya, walau kita tidak setuju dengan itu, apa kata Alquran? La tasubbu-lladzina yad’una min duni-llah. Adat yang sejalan dengan nilai-nilai agama itulah yang dinamai makruf, ya, kan? Tafsirnya makruf itu. Adat yang tidak sejalan dengan nilai-nilai agama itulah yang dinamai munkar. Kita harus memelihara adat itu, karena kata Ibnul Muqaffa apa? “Idza sya’a al-munkar shara ma’rufa, wa idza qalla al-ma’ruf shara munkar,” ini harus dipelihara, yang baik ini kita perlihara, walaupun berbeda dengan orang lain.

Dulu masa saya di sini, kalau ada pertemuan tidak dimulai dengan Indonesia Raya, saya kira tahun lalu pun saya ada belum dimulai itu. Baru ini, ya? Bagus, justru lebih penting itu sekarang. Karena ada orang yang ingin kita meninggalkan nilai-nilai yang telah disepakati. Apakah nilai-nilai yang telah disepakati oleh bangsa? Kalau orang berkata, “Apa itu jati diri Bangsa Indonesia? Apa jati dirinya?” Anda mau berkata tauhid, tauhid dalam pengertian siapa? Ketuhanan yang Maha Esa, kan? Oke, Ketuhanan yang Maha Esa dalam pengertian siapa? Muktazilah? Asy’ariyah? Salafiyah? Kan beda-beda. Tapi kita bisa bersatu, ini kita pegang Ketuhanan yang Maha Esa, apapun penafsiran anda silahkan, lakum dinukum waliya din. Sebagai bangsa juga begitu. Sebagai bangsa kita sepakat Ketuhanan yang Maha Esa. Jangan bicarakan dihadapan yang lain apa penafsirannya karena kita bisa beda-beda. Begitu juga kemanusiaan. Kemanusiaan kita yang adil dan beradab. Semua orang berkata kemanusiaan, tapi orang barat dalam praktiknya seringkali kemanusiaan yang tidak adil, kita kemanusiaan yang adil dan beradab. Begitu seterusnya. Nah, ini yang harus dijaga. Adat kebiasaan harus di jaga, nilai-nilai bangsa harus dijaga, dipertahankan, dan dipraktikkan. Kalau tidak, kita hanyut oleh adat kebiasaan orang lain. Adat kebiasaan orang barat beda itu dengan kita.

Makruf itu bisa berbeda bukan saja antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, tapi bisa berbeda antara masyarakat pada [satu] waktu dengan waktu yang lain. Dulu—mungkin lima puluh tahun yang lalu—orang berkata pakai dasi itu ndak boleh, ya, kan? Sekarang juga keren yang pakai dasi. Sudah berbeda, banyak sekali. Nah, ini yang biasa kita tidak sadari, bahwa sebenarnya situasi sudah berbeda, kita masih mau ke sana. Itu salah satu sebab mengapa Azhar memilih tajdid. Ini situasi sudah berbeda, dong, masih mau pakai yang lama? Kalau tidak, kita ketinggalan.

Berhutang baik enggak? Baca [sabda] Nabi, “Berhutang siang mengantar anda terhina, malam mengantar anda resah,” Jangan, deh. [Tapi] sekarang semua punya credit card, kok. Ini dia yang harus anda pahami. Kalau anda datang ke Indonesia membawa ide-ide yang tidak sesuai denngan nilai-nilai kita, dengan adat istiadat kita, anda bukan memberi petunjuk tapi menyesatkan. Saya kira itu mukadimah dari saya.
 _____-=-_____

Sesi Tanya Jawab

1. Bagaimana cara Habib ketika berinteraksi dengan tafsir—apa pun itu—baik Syiah atau Sunni, baik tingkatannya rendah, menengah, atau tinggi?

Saya mau berkata bergini, yang pertama, pilih-pilihlah buku yang anda baca, karena terlalu banyak buku. Salah satu yang perlu dipertimbangkan adalah pengarangnya. Anda mau belajar tafsir, [tapi bukunya] yang karang bukan orang yang ahli di bidang tafsir. Itu yang pertama.

Yang kedua, jangan pernah menilai kebenaran dari orang, tapi nilailah kebenaran dari ide yang ada. Saya mau beri contoh dari Alquran. Ada orang-orang pada masa Nabi yang menilai kebenaran Islam bukan dari ide yang teradapat dalam Islam, tetapi karena melihat akhlaknya Nabi Muhammad saw, “ma hadza biwajhi kadzzab,” orang ini bukan pembohong dari wajahnya. Cara itu sekarang tidak bisa lagi. Perempuan aja make up sedikit sudah berubah, ya? Saya juga di teve itu dipakaikan make up, supaya kelihatan tua katanya. [hadirin tertawa] Jadi ada tiga macam penilaian,
  • Bisa jadi anda menilai suatu ide dari orangnya, “Dia yang bilang begitu, kiai ini bilang begitu,”
  • Bisa jadi anda menilai suatu ide dari keuntungan materi yang anda peroleh dari nilai itu, “Saya mau masuk fakultas ini,” kenapa? “oh, itu nanti penghasilannya banyak.”
  • Yang ketiga, nilailah suatu ide dari faktor-faktor intern yang ada pada nilai itu.
Kembali kita pada Alquran. Ada tusan Malik Binnabi, dia katakan begini, pada masa Nabi ada orang-orang yang masuk Islam hanya karena melihat Nabi begini. Alquran tidak mau seperti itu. Walaupun ada jaminan dari Alquran bahwa Nabi itu benar, tapi metode semacam ini tidak benar lagi untuk dilakukan. Maka Alquran turun,

وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۗ اَفَا۟ىِٕنْ مَّاتَ اَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلٰٓى اَعْقَابِكُمْ ۗ وَمَنْ يَّنْقَلِبْ عَلٰى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَّضُرَّ اللّٰهَ شَيْـًٔا ۗوَسَيَجْزِى اللّٰهُ الشّٰكِرِيْنَ

Muhammad itu rasul yang bisa mati, apakah kalau dia mati kamu juga tinggalkan karena idola kamu sudah tidak ada? Nah, itu sebabnya Sayyidina Abu Bakar ingatkan, “Man kana ya’budu Muhammad, fainna Muhammadan qad mat. Wa man kana ya’budu-llah fainna-lllaha hay.” Jadi anda mau baca, kritis! “Ini enggak benar, nih.” Bisa jadi apa yang diangap benar dulu sekarang sudah tidak dianggap benar. Di Jakarta putri saya itu Ela [Najelaa Shihab] punya sekolah. Dia katakan, dia sebar-luaskan kepada semua, bahwa semua murid dan semua guru. Murid itu bisa jadi guru anda, kenapa? Karena pengetahuan sudah begitu luas, dan cara untuk memperoleh pengetahuan itu bisa dengan sangat mudah. Saya pernah ditegur oleh cucu saya, demi Allah saya ditegur. Saya katakan, “O, itu planet yang mengitari tata surya ada tujuh.”

“Jiddu,” dia panggil saya jiddu, “sekarang sudah ndak begitu.”

“Lalu gimana itu?” Dia ceritera sama saya...

Jadi semua bisa jadi murid, semua bisa jadi guru. Kita punya dasar bahwa yang jadi guru itu harus lebih pandai dari muridnya menyangkut apa yang dia ajar. Anda mengajar tafsir harus lebih pandai dari murid. Tapi bahasa ingris? Boleh jadi murid lebih pandai dari anda, ilmu bumi boleh jadi, dan seterusnya. Itu, ya, jadi baca begitulah.

Pendapat-pendapat ulama-ulama yang lain dalam bidang tafsir banyak yang istimewa tetapi buat masanya, yang sekarang tidak. Kemarin di muktamar ketika saya pimpin sidang menyangkut perempuan, saya katakan, tajdid/pembaharuan itu bukan sekedar mengemukakan pendapat baru yang berbeda dengan pendapat-pendapat lama. Bukan itu. Tetapi ada dua,
  • Memilih dari pendapat-pendapat lama apa yang lebih sesuai untuk masa kita, walaupun pendapat itu pada masa lalu dianggap belum banyak pendukungnya. Itu sudah tajdid. Itu satu,
  • Yang kedua, tajdid itu adalah menghapus debu-debu yang menyelubungi suatu ide sehingga kembali murni. Terlalu banyak ide-ide yang bagus tetapi tercampur—saya istilahkan kemarin itu—dengan al-madiniyah, peradaban baru yang non-agamis. Kalau peradaban baru yang agamis kita terima,
Saya kira begitu, lah, ya, harus kritis. Membaca harus kritis.

2. Klarifikasi kebenaran yang dibilang bahwa Prof. Quraish selalu menyediakan waktu untuk menulis setiap hari.

Iya betul, sampai sekarang. Saya punya kehidupan—saya cerita pada anda sedikit—saya bangun sebelum subuh, [kemudian] salat subuh. Saya ada wirid, wirid saya sepuluh menit, habis itu saya buat teh sendiri, habis itu saya duduk di depan komputer sampai jam delapan/delapan seperempat, jadi itu sekitar dua jam. Setelah itu saya siap-siap ke kantor, di kantor saya nulis. Ada orang pernah bertanya pada saya, “Kok bisa produktif? Saya sudah berkali-kali tulis tidak jadi-jadi,” ini juga nasihat buat saudara-saudara yang menulis: Tulislah! tapi jangan menulis seakan-akan menulis surat cinta. Tidak pernah jadi itu kalau surat cinta, ya, kan? Tulislah, tidak usah ingin menjadikan tulisan anda itu pasti benar semuanya. Pasti ada salahnya. Imam Syafi’i pun ada salahnya. Tidak ada yang tidak salah kecuali Rasulullah saw. itupun Rasulullah kenapa tidak salah, karena kalau beliau salah ditegur Tuhan. Tulislah, tulis disertasi anda, tulis opini anda, usahakan sebisa mungkin... Saya yakin bahwa apa yang saya tulis itu tidak semuanya benar. Kalau saya baca kembali Tafsir al-Misbah, saya temukan banyak kesalahan. Tetapi saya juga tidak bisa koreksi. Saya harap saudara-saudara koreksi asal jangan mengoreksi secara subjektif.

3. Bagaimana manhaj untuk menanamkan malakah al-tafsir dalam diri, dan bagaimana Prof. Quraish membagi waktu/jadwal kesehariannya selama menjadi mahasiswa pascasarjana di al-Azhar?

Kalau malakah itu, kan, bakat kira-kira, ya? Apa itu yang dimaksud? Sekarang begini, menanamkan bakat, saya ingin berkata begini, bakat orang itu berbeda-beda. Jadi itu dasarnya bawaan dari lahir. Saya cerita lagi, ada orang bertanya, “Pak Quraish, enggak ada anaknya yang jadi kiai, ya?” Saya jawab, saya tidak pernah memaksa anak saya untuk belajar agama, tetapi saya paksa dia untuk melaksanakan kewajiban agama. Beda, kan?

Cucu saya sekarang di Inggris. Sewaktu dia kelas satu SMA—itu dia putranya Najwa—dia ke Inggris untuk ikut latihan sepak bola. Saya bilang sama dia, jadilah ahli di bidang kamu, apa pun bidangmu. Dan belajarlah apa yang sesuai dengan bakatmu. Bisa jadi pemain sepak bola itu lebih hebat dari kiai. Sekarang [kita lihat] Mohamed Salah. Jadi, tugas orang tua/guru membantu anak menemukan bakatnya dan membimbingnya sesuai dengan bakatnya. Ada orang, ibunya mau anaknya jadi dokter. Dipaksa. Boleh jadi dia berhasil jadi dokter, tetapi begitu jadi dokter, dia tinggalkan kedokterannya.

Oh, saya tambah sedikit. Ini karena perempuan yang tanya. Bakat itu akan berkembang dengan baik kalau disertai dengan mencintainya. Kalau anda tidak mencintainya walaupun ada bakat, tidak [akan berkembang baik.] Dan cinta itu bisa diusahakan. Bagaimana cari jodoh? Jodoh itu dicari, ya, kan? Jadi cintai itu, bakat akan semakin berembang karena sudah didorong oleh cinta. Jelas, kan? Jadi [percuma] anda punya bakat tafsir tapi tidak mau baca tafsir, punya bakat jadi pemain sepakbola tapi tidak mau latihan. Latih diri anda mencintainya. Itu saya kira.

Membagi waktu? Saya enggak tau, tuh, bagaimana membagi waktu. Yang jelas, kapan saya bisa baca, saya membaca. Kapan saya bisa menulis, saya menulis. Di pesawat saya bawa komputer. Tapi saya tidak menganjurkan terus bawa hp dan baca terus hp. Tapi melalui hp anda bisa baca tafsir di sini, anda bisa baca hadis di sini. Bukan menghabiskan waktu mengetik Whatsapp dan membaca Whatsapp. Itu aja, saya gampang-gampang aja, lah. Mungkin itu tadi, karena hobi. Hobinya di sana, kok. Dan hobi itu bisa dipupuk, cinta itu bertingkat-tingkat, kan? Cinta itu dimulai dari kecenderungan hati, meningkat, [terus] meningkat. Baca lagi Alquran itu istilah-istilah cinta. Sampai pada akhirnya menjadikan yang dicintai itu sebagai ibadah.

4. Adakah asas yang dijadikan pedoman, khususnya untuk menafsirkan ayat Alquran, sehingga bisa diterima semua kalangan?

Tidak mungkin. Akal manusia berbeda-beda, karena itu kita berkata, dalam penafsiran Alquran bisa beragam penafsiran itu dan semuanya benar. Abdullah Darraz berkata begini, Alquran itu seperti berlian memancarkan cahaya, ada yang melihat dari sudut kiri dia lihat pancaran cahayanya berbeda, ada yang melihat dari kanan berbeda lagi, ada yang melihat dari depan, belakang, bisa berbeda-beda. Semuanya benar. Kalau mau lebih jelas: Gajah, ada yang kebetulan memegang belalainya, “Oh, gajah itu berbelalai,” benar ndak? Ada yang pegang badannya, “Oh, berbadan besar.” Macam-macam, semua benar. Mau lebih rinci lagi? Ada ungkapan begini, Tuhan tidak bertanya lima ditambah lima berapa. Jawabannya apa? Sepuluh. Tuhan tidak bertanya begitu. Yang Tuhan tanyakan, sepuluh, berapa tambah berapa? Tujuh tambah tiga? Benar. Enam tambah empat? Sembilan tambah satu? Bisa benar, kebenaran itu bisa bermacam-macam. Saya ada tulis itu Alquran ma’dubatullah, salah satu maknanya Alquran itu hidangan Allah. Maknanya bisa bermacam-macam. Hidangan orang, semakin kaya orangnya, semakin beragam hidangannya, ya? Di pesta ada teh, ada kopi, ada air putih, ada air jeruk, dan lain-lain. Marahkah tuan rumah kalau anda pilih air jeruk [sedangkan] yang lain pilih coca-cola, yang lain pilih teh. Selama itu semua terhidang, marahkah dia kalau berbeda? Tuhan juga begitu, tuan rumah marah kalau anda ke kamarnya, buka kulkasnya, dia tidak hidangkan itu. Allah marah kalau anda berikan penafsiran yang bukan itu yang pasti Tuhan kehendaki, karena penafsiran itu ada yang pasti, ada yang dugaan. Kemarin diskusi di Azhar, kan, soal zhanni dan qath’i. Jadi begitu, kesulitan kita karena semua merasa dirinya yang benar. Bagus kalau berkata dirinya yang benar, tapi tidak usah salahkan orang, dong. Anda boleh jadi benar. Nah, kesulitan kita di situ.

Alquran pasti bermacam-macam, dan kata al-Aqqad dalam bukunya, seandainya sahabat Nabi hidup pada masa kita sekarang pasti pendapatnya yang dikemukakan pada masa Nabi berbeda dengan pendapatnya sekarang ini. Kenapa? Situasi berbeda. Setiap pendapat dipengaruhi oleh banyak hal. Dipengaruhi pertama oleh kecenderungan yang bersangkutan. Nah, anda lihat, khalaqa al-insana min ‘alaq, apa artinya ‘alaq? Kalau dokter berkata, ‘alaq itu sesuatu yang bergantung di dinding rahim, ya, zigot itu. Kalau sosiolog berkata, ‘alaq itu menggambarkan manusia memiliki ketergantungan kepada orang lain. Yang lain berkata, itu segumpal darah. Semua bisa benar tergantung dari kecenderungan.

Terus perkembangan ilmu/perkembangan budaya. Kesulitan kita, kata Malik Binnabi, kita berpegang pada pendapat lama yang benar pada masanya, [namun] sudah tidak benar sekarang. Apa yang ditulis oleh Fakhrurrazi dalam tafsirnya itu banyak yang sudah out of date. Jadi begitu, ya. Kita terima, deh, [pendapat] orang, walaupun kita tidak setuju, kita katakan, ya, boleh jadi anda benar. Selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama/kaidah-kaidah yang disepakati dalam bidang tafsir. Ada orang punya kaidah tidak disepakati, Oke silakan anda begitu, saya tidak begitu.

5. Saya sudah sejak lama mengikuti pemikiran Pak Quraish dan mengaguminya, hanya dalam beberapa hal saya sulit menerima, terutama pada masalah fiqh. Sampai beberapa waktu lalu saya bermimpi Pak Quraish mensyarahkan Muqaddimah Hadhramiyyah dan saya duduk menjadi muqri`. Saya merasa ini adalah teguran bagi saya, bahwa pendapat fikih Pak Quraish pun patut dipertimbangkan. Pertanyaannya, bagaimana manhaj Pak Quraish dalam berfikih/bermazhab?

Saya bicara mimpi dulu, mimpi itu ada tiga macam,
  • Ada mimpi yang bersumber dari sumber yang benar, atau singkatnya mimpi dari Tuhan. Nabi Ibrahim mimpi, Nabi Yusuf mimpi, dan lain-lain sebagainya.
  • Ada mimpi yang diciptakan oleh setan. Yang diciptakan oleh setan itu, antara lain, ada dua macam. Satu macam itu berupa khayalan-khayalan anda sewaktu sadar/khayalan yang sulit diwujudkan, maka ada mekanisme yang oleh ulama dikatakan dari setan, itu diwujudkan melalui mimpi. Saudara cinta sama perempuan, ingin kawin sama dia, pernah pengalaman mimpi begitu, kan?
  • Ada lagi mimpi yang menggambarkan keadaan saat anda tidur. Keadaaan pada saat tidur itu menciptakan mimpi untuk menyalurkan keinginan menyangkut keadaan yang sedang dialami. Saya mau beri contoh anda, ada orang tidur belum ke toilet, fisiknya berkata ini sudah harus keluar ini, tapi dia tidur. Apa yang terjadi? Dia mimpi ke toilet, kencing, ternyata, eh! di kasur keluarnya, itu mimpi.

Saya tidak tahu, siapa tahu mimpi anda saya mengajar suatu buku mungin khayalan anda, saya enggak tahu itu. Tetapi yang penting, satu pertanyaan dulu: seorang mujtahid, kalau mempunyai satu pedapat, sedangkan semua orang punya pendapat yang berbeda dengan pendapat sang mujtahid (semua orang sepakat berkata A, sang mujtahid satu-satunya berkata B) yang mana dia harus ikuti? Pendapat mayoritas atau pendapat dia seorang? Pendapat dia yang seorang, ya, kan?

Ada lagi orang yang tidak sampai pengetahuannya pada tingkat itu, tetapi dia bisa mempelajari yang mana—diantara pendapat-pendapat ini—yang dia lebih cenderung dengan argumentasinya untuk memilihnya. Saya beri anda contoh lagi, tayamum, Malik dan Syafi’i beda, kan? Kalau Malik bagaimana cara tayamumnya, ada yang tahu ndak? Membasuh wajah dan membasuh tangan, dalam arti pergelangan tangan, [sementara] Syafi’i sampai di siku. Pilih yang mana? Terserah anda. Apa yang anda anggap benar, atau apa yang anda anggap lebih sesuai dengan kondisi anda. Saya terus terang di pesawat mau tayamum, saya tidak pakai sampai di sini [siku]. Saya pakai Mazhab Malik karena saya tahu alasannya pun benar. Itu sikap saya.

Saya biasa dikritik orang, “Ini Pak Quraish ajukan jawaban begini-begini.” Nah, saya mau cerita lagi, Prof. Ibrahim Husein, ulama besar/kiai besar, cerita sama saya begini, “Pak Quraish, tadi datang satu orang ke rumah dia tanya, ‘saya sudah ucapkan terhadap istri saya talak tiga, bagaimana saya ini? katanya kalau talak tiga harus ada yang menikahi lagi?’

Pak Ibrahim Husein tanya begini, ‘kamu masih cinta enggak istrimu?’

‘Saya masih cinta.’

‘Udah, pulang! Pergi gauli istrimu.’”

Saya tanya, “Ustadz, ini beda dengan Syafi’i.” Dia bilang, “Saya tahu kalau saya bilang tidak boleh, dia tidak puas, dia pergi lagi cari ulama lain sampai dia menemukan yang memberi dia jalan keluar. Saya tidak mau dia capek-capek jalan. Langsung aja saya berikan.”

Ulama itu punya wawasan luas dan memberikan jawaban yang sesuai dengan keadaan penanya. jadi yang bertanya anda harus tahu sebelum tahu apa yang dia tanyakan. Karena bisa jadi satu pertanyaan yang sama yang diajukan pada seorang ulama tetapi oleh dua orang yang berbeda, bisa jadi jawabannya berbeda. Mau saya beri contoh lagi? Satu anak muda baru menikah datang [pada ulama] bersama dia satu orang tua. Orang tua ini bertanya, boleh ndak saya cium istri saya di Bulan Ramadan? Dijawab boleh. Datang anak muda [dengan pertanyan sama], boleh ndak? Enggak boleh kalau kamu. Beda, kan? Pertanyaan sama, tapi orangnya beda. Karena itu tidak bisa anda memberi jawaban hukum hanya sekedar membaca buku, apalagi buku lama! Ini sekarang yang banyak terjadi. Buka buku, oh, ini begini, ini begini, dia tidak lihat kondisi, tidak lihat siapa yang bertanya. Imam Ghazali kasih contoh, dua orang bertanya, “Boleh ndak saya berenang di laut?” Jangan cepat-cepat menjawab, “Ini boleh karena pandai berenang, ini tidak boleh karena tidak pandai berenang.” Ibnu Taimiyyah sudah ingatkan itu, hati-hati memberikan pandangan hukum. Pandangan yang lama beda dengan pandangan sekarang.

6. Saya dulu di pondok suka dengan pendekatan fikih, dan sekarang masuk ke jurusan tafsir. Nah, bagaimana saya bisa mengolaborasikan antara pendekatan fikih dan tafsir?

Saudara belajar tafsir, kan? Pernah baca tafsir al-Qurthubi? Itu tafsir apa? Fikih? Sudah, selesai. [tawa hadirin bergemuruh] Kita baca tafsir ahkam, ya, kan? Ada corak-corak tafsir, dalami itu. Oke, saya tambah lagi sekarang. Saya mulai senang tafsir kira-kira mulai sejak umur enam tahun, karena ayah saya itu guru besar bidang tafsir. Sewaktu sampai di al-Azhar ada pilihan jurusan-jurusan, saya ingin untuk memperoleh dukungan logika terhadap pilihan tafsir, “Kenapa saya harus pilih tafsir?” Saya menemukan—yang tidak belajar tafsir jangan tersinggung, ya. Ini pengalaman saya—bahwa yang mempelajari Alquran dia bisa mempunyai pengetahuan dalam berbagai bidang. Mau bahasa arab? Belajar tafsir, dapat bahasa arab. Mau dapat sejarah islam? Belajar tafsir, dapat sejarah islam. Mau hadis? Bisa. Jadi, itu dulu yang menenangkan saya. Saya cerita pada saudara, saya dengan Pak Alwi, dia lulus saya tidak lulus. Kalau saya mau masuk darul ulum bisa, tapi tidak apa-apa! Saya menunggu setahun supaya saya bisa masuk ke jurusan tafsir. Anda kira saya tidak malu itu? Malu saya, adik saya lulus saya ndak lulus, perjuangan itu. Tapi saya sudah bertekad saya mau ini! Nah, jadi anda mau belajar fikih melalui Alquran, anda bisa. Orang hukum-hukum Islam itu bersumber dari Alquran. Jadi tidak ada masalah, ya, kan?






Komentar